Hukum Perjanjian Lama memerintahkan orang-orang Israel untuk tidak kawin campur dengan ras-ras lain (Ulangan 7:3-4). Alasannya adalah bahwa kaum Israel akan dibawa meninggalkan Tuhan jikalau mereka kawin campur dengan penyembah-penyembah berhala, orang-orang kafir dan orang-orang yang tidak menyembah Tuhan. Prinsip yang sama digariskan dalam Perjanjian Baru, namun dalam tingkat yang jauh berbeda. "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" (2 Korintus 6:14). Sama seperti orang-orang Israel (orang-orang yang percaya kepada Allah yang Esa) diperintahkan untuk tidak menikahi orang-orang yang tidak percaya, demikian pula orang-orang Kristen (orang-orang yang percaya kepada Allah yang Esa) diperintahkan untuk tidak menikahi orang-orang yang tidak percaya. Menjawab pertanyaan ini secara khusus, tidak, Alkitab tidak mengatakan bahwa pernikahan antar-ras adalah salah.
Orang harus dinilai berdasarkan karakternya dan bukan warna kulitnya. Setiap kita perlu berhati-hati jangan sampai kita memilih kasih atau berprasangka dan bersikap rasialis terhadap orang lain (Yakobus 2:1-10, perhatikan khususnya ayat 1 dan 9). Standar dari pria dan wanita Kristen dalam memilih pasangan adalah mencari tahu apakah orang-orang yang mereka tertarik adalah orang Kristen atau bukan, seseorang yang sudah lahir kembali oleh iman dalam Kristus Yesus (Yohanes 3:3-5). Iman dalam Kristus, dan bukan warna kulit, adalah standar Alkitab dalam memilih pasangan hidup. Pernikahan antar-ras bukanlah soal benar atau salah, tapi soal hikmat, kebijaksanaan dan doa.
Satu-satunya alasan pernikahan antar ras perlu dipertimbangkan dengan hati-hati adalah karena kesulitan yang mungkin dialami oleh pasangan tsb karena orang-orang lain sulit untuk menerima mereka. Banyak pasangan seperti itu yang mengalami diskriminasi dan ejekan, kadang-kadang bahkan dari keluarga mereka sendiri. Beberapa pasangan pernikahan antar-ras mengalami kesulitan karena warna kulit anak-anak mereka berbeda dari orangtua atau saudara-saudara mereka. Pasangan antar-ras perlu mempertimbangkan hal ini dan mempersiapkan diri kalau mereka memutuskan untuk menikah. Sekali lagi, satu-satunya larangan dalam Alkitab terhadap orang Kristen adalah apakah pihak yang satu adalah anggota dari tubuh Kristus atau bukan.
Pertama-tama, apapun pandangan mengenai perceraian, adalah penting untuk mengingat kata-kata Alkitab dalam Maleakhi 2:16a: "Sebab Aku membenci perceraian, firman TUHAN, Allah Israel." Menurut Alkitab, kehendak Allah adalah pernikahan sebagai komimen seumur hidup. "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6). Meskipun demikian, Allah menyadari bahwa karena pernikahan melibatkan dua manusia yang berdosa, perceraian akan terjadi. Dalam Perjanjian Lama Tuhan menetapkan beberapa hukum untuk melindungi hak-hak dari orang yang bercerai, khususnya wanita (Ulangan 24:1-4). Yesus menunjukkan bahwa hukum-hukum ini diberikan karena ketegaran hati manusia, bukan karena rencana Tuhan (Matius 19:8).
Kontroversi mengenai apakah perceraian dan pernikahan kembali diizinkan oleh Alkitab berkisar pada kata-kata Yesus dalam Matius 5:32 dan 19:9. Frasa "kecuali karena zinah" adalah satu-satunya alasan dalam Alkitab di mana Tuhan memberikan izin untuk perceraian dan pernikahan kembali. Banyak penafsir Alkitab yang memahami "klausa pengecualian" ini sebagai merujuk pada "perzinahan" yang terjadi pada masa "pertunangan." Dalam tradisi Yahudi, laki-laki dan perempuan dianggap sudah menikah walaupun mereka masih "bertunangan." Percabulan dalam masa "pertunangan" ini dapat merupakan satu-satunya alasan untuk bercerai.
Namun demikian, kata Bahasa Yunani yang diterjemahkan "perzinahan" bisa berarti bermacam bentuk percabulan. Kata ini bisa berarti perzinahan, pelacuran dan penyelewengan seks, dll. Yesus mungkin mengatakan bahwa perceraian diperbolehkan kalau terjadi perzinahan. Hubungan seksual adalah merupakan bagian integral dari ikatan penikahan, "keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 2:24; Matius 19:5; Efesus 5:31). Oleh sebab itu, memutuskan ikatan itu melalui hubungan seks di luar pernikahan dapat menjadi alasan untuk bercerai. Jika demikian, dalam ayat ini, Yesus juga memikirkan tentang pernikahan kembali. Frasa "kawin dengan perempuan lain" (Matius 19:9) mengindikasikan bahwa perceraian dan pernikahan kembali diizinkan dalam kerangka klausa pengecualian, bagaimanapun itu ditafsirkan. Penting untuk diperhatikan bahwa hanya pasangan yang tidak bersalah yang diizinkan untuk menikah kembali. Meskipun tidak disebutkan dalam ayat tsb, izin untuk menikah kembali setelah perceraian adalah kemurahan Tuhan kepada pasangan yang tidak bersalah, bukan kepada pasangan yang berbuat zinah. Mungkin saja ada contoh-contoh di mana "pihak yang bersalah" diizinkan untuk menikah kembali, namun konsep tsb tidak ditemukan dalam ayat ini.
Sebagian orang memahami 1 Korintus 7:15 sebagai "pengecualian" lainnya, di mana pernikahan kembali diizinkan jikalau pasangan yang belum percaya menceraikan pasangan yang percaya. Namun demikian, konteks ayat ini tidak menyinggung soal pernikahan kembali dan hanya mengatakan bahwa orang percaya tidak terikat dalam pernikahan kalau pasangan yang belum percaya mau bercerai. Orang-orang lainnya mengklaim bahwa perlakuan sewenang-wenang (terhadap pasangan yang satu atau terhadap anak) adalah alasan yang sah untuk bercerai sekalipun Alkitab tidak mencantumkan hal itu. Walaupun ini mungkin saja, namun tidaklah pantas untuk menebak Firman Tuhan.
Kadang-kadang hal yang dilupakan dalam perdebatan mengenai klausa pengecualian adalah kenyataan bahwa apapun jenis penyelewengan dalam pernikahan, itu hanyalah merupakan izin untuk bercerai dan bukan keharusan untuk bercerai. Bahkan ketika terjadi perzinahan, dengan anugrah Tuhan, pasangan yang satu dapat mengampuni dan membangun kembali pernikahan mereka. Tuhan telah terlebih dahulu mengampuni banyak dosa-dosa kita. Kita tentu dapat mengikuti teladanNya dan mengampuni dosa perzinahan (Efesus 4:32). Namun, dalam banyak kasus, pasangan yang bersalah tidak bertobat dan terus hidup dalam percabulan. Di sinilah kemungkinanan Matius 19:9 dapat diterapkan. Demikian pula banyak yang terlalu cepat menikah kembali setelah bercerai padahal Tuhan mungkin menghendaki mereka untuk tetap melajang. Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk melajang supaya perhatian mereka tidak terbagi-bagi (1 Korintus 7:32-35). Menikah kembali setelah bercerai mungkin merupakan pilihan dalam keadaan-keadaan tertentu, namun tidak selalu merupakan satu-satunya pilihan.
Adalah menyedihkan bahwa tingkat perceraian di kalangan orang-orang yang mengaku Kristen hampir sama tingginya dengan orang-orang yang tidak percaya. Alkitab sangat jelas bahwa Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16) dan bahwa pengampunan dan rekonsiliasi seharusnya menjadi tanda-tanda kehidupan orang percaya (Lukas 11:4; Efesus 4:32). Tuhan mengetahui bahwa perceraian dapat terjadi, bahkan di antara anak-anakNya. Orang percaya yang bercerai dan/atau menikah kembali jangan merasa kurang dikasihi oleh Tuhan bahkan sekalipun perceraian dan pernikahan kembali tidak tercakup dalam kemungkinan klausa pengecualian dari Matius 19:9. Tuhan sering kali menggunakan bahwa ketidaktaatan orang-orang Kristen untuk mencapai hal-hal yang baik.
Ini adalah topik yang sangat penting dalam pernikahan dan juga dalam hidup sehari-hari. Allah mendesain soal tunduk ini di dalam Kejadian. Pada mulanya, karena tidak ada dosa, manusia tidak perlu tunduk kepada siapapun selain kepada kuasa Tuhan. Ketika Adam dan Hawa tidak menaati Allah, dosa masuk ke dalam dunia dan karena itu dibutuhkan otoritas. Karena itu Allah menetapkan otoritas yang dibutuhkan untuk menegakkan hukum negara dan juga untuk melindungi kita. Pertama-tama, kita perlu tunduk kepada Allah yang adalah merupakan satu-satunya cara untuk menaati Dia secara penuh (Yakobus 1:21 dan Yakobus 4:7). Dalam 1 Korintus 11:2-3 kita mendapatkan bahwa suami harus tunduk kepada Kristus sebagaimana Kristus tunduk kepada Allah. Ayat ini selanjutnya mengatakan bahwa isteri patut mengikuti teladan ini dan tunduk kepada suaminya. Ayat-ayat lain mengenai Kristus tunduk kepada Allah dapat ditemukan dalam Matius 26:39 dan Yohanes 5:30.
Tunduk adalah respon alamiah kepada kepemimpinan dalam kasih. Ketika seorang suami mengasihi isterinya sebagaimana Kristus mengasihi gereja (Efesus 5:25-33) maka tunduk adalah respon alamiah dari isteri kepada suaminya. Kata bahasa Yuanni yang diterjemahkan tunduk (hupotasso) adalah kata kerja yang berbentuk terus menerus. Ini berarti bahwa tunduk kepada Allah, pemimpin kita, dan suami kita, bukanlah tindakan yang dilakukan satu kali. Tunduk adalah sikap yang terus menerus ada dalam pikiran kita dan menjadi pola tingkah laku kita. Tunduk yang dibicarakan dalam Efesus 5 bukanlah berbicara mengenai sikap tunduk sepihak dari orang percaya kepada orang yang egois dan mau menguasai. Sikap tunduk dalam Alkitab didesain sebagai sikap di antara dua orang percaya yang dipenuhi Roh dan saling tunduk satu dengan yang lain dan kepada Allah. Tunduk adalah jalan dua arah. Tunduk adalah posisi kehormatan dan kesempurnaan. Ketika isteri dikasihi sebagaimana Kristus mengasihi jemaatnya, tunduk tidaklah sulit. Efesus 5:24 mengatakan, "Karena itu sebagaimana jemaat tunduk kepada Kristus, demikian jugalah isteri kepada suami dalam segala sesuatu" (Efesus 5:24). Ayat ini mengatakan bahwa isteri harus tunduk kepada suaminya dalam segala sesuatu yang benar dan menurut hukum. Karena itu isteri tidak wajib melanggar hukum atau mengabaikan hubungannya dengan Allah.
Perempuan diciptakan dari tulang rusuk yang diambil dari sisi Adam, bukan dibuat dari kepalanya untuk memerintah dia, bukan dari kakinya untuk diinjak-injak olehnya, namun dari sisinya untuk menjadi sederajat dengan dia, di bagian bawah dari tangannya untuk dilindungi, dekat ke hatinya untuk dikasihi. Kata "tunduk" dalam Efesus 5:21 adalah kata yang sama dalam 5:22. Orang-orang percaya harus tunduk satu dengan yang lainnya karena menghormati Kristus. Ayat 19-21 berbicara mengenai hasil-hasil kepenuhan Roh Kudus (5:18). Orang-orang percaya yang penuh dengan Roh Kudus selalu menyembah (5:19), bersyukur (5:20), dan tunduk (5:21). Paulus kemudian melanjutkan jalan pikirannya tentang hidup yang dipenuhi dengan Roh Kudus dan menerapkannya kepada suami dan isteri dalam ayat 22-23.
Alkitab mengatakan bahwa "Hendaklah kamu semua penuh hormat terhadap perkawinan dan janganlah kamu mencemarkan tempat tidur, sebab orang-orang sundal dan pezinah akan dihakimi Allah" (Ibrani 13:4). Alkitab tidak pernah memberitahukan apa yang boleh atau tidak boleh dilakukan oleh suami isteri dalam hal seks. Suami dan istri dinasehati "Janganlah kamu saling menjauhi, kecuali dengan persetujuan bersama untuk sementara waktu" (1 Korintus 7:5). Ayat ini mungkin menggaris bawahi prinsip untuk hubungan seks dalam pernikahan. Apapun yang dilakukan harus berdasarkan persetujuan bersama. Tidak ada seorangpun yang boleh dipaksa atau dimanipulasi untuk melakukan sesuatu yang dia tidak sukai atau yang dia anggap salah. Jikalau suami dan istri sepakat untuk mencoba sesuatu (seks oral, posisi yang berbeda, alat/mainan seks, dll) " Alkitab tidak memberi alasan mengapa mereka tidak boleh mencobanya.
Ada beberapa hal yang tidak pernah diizinkan secara seksual untuk pasangan yang menikah. "Saling tukar pasangan" atau "membawa orang lain" jelas-jelas adalah perzinahan (Galatia 5:19; Efesus 5:3; Kolose 3:5; 1 Tesalonika 4:3). Perzinahan adalah dosa sekalipun diizinkan dan direstui oleh pasangan Anda atau bahkan sekalipun diapun terlibat di dalamnya. Pornografi memusatkan perhatian pada "keinginan daging dan keinginan mata" (1 Yohanes 2:16) dan karena itu tidak disukai Tuhan. Selain kedua hal ini, Alkitab tidak secara khusus melarang apa yang dilakukan oleh suami isteri satu terhadap yang lain, sepanjang itu berdasarkan persetujuan bersama.
2 Korintus 6:14 menyatakan, " Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" Walaupun ayat ini tidak secara khusus mencantumkan pernikahan, implikasinya bagi pernikahan sangatlah jelas. Selanjutnya bagian Alkitab ini mengatakan, "Persamaan apakah yang terdapat antara Kristus dan Belial? Apakah bagian bersama orang-orang percaya dengan orang-orang tak percaya? Apakah hubungan bait Allah dengan berhala? Karena kita adalah bait dari Allah yang hidup menurut firman Allah ini: "Aku akan diam bersama-sama dengan mereka dan hidup di tengah-tengah mereka, dan Aku akan menjadi Allah mereka, dan mereka akan menjadi umat-Ku. Sebab itu: Keluarlah kamu dari antara mereka, dan pisahkanlah dirimu dari mereka, firman Tuhan, dan janganlah menjamah apa yang najis, maka Aku akan menerima kamu" (2 Korintus 6:15-17).
Alkitab selanjutnya mengatakan, "Janganlah kamu sesat: Pergaulan yang buruk merusakkan kebiasaan yang baik" (1 Korintus 15:33). Hubungan yang dekat dengan orang yang tidak percaya dapat dengan cepat dan mudah berubah menjadi halangan untuk kita berjalan dengan Kristus. Kita dipanggil untuk menginjiliyang sesat, bukan untuk menjadi intim dengan mereka. Tidak ada salahnya membangun persahabatan yang berkualitas dengan orang-orang yang tidak percaya " namun hanya boleh sejauh itu. Jikalau Anda berpacaran dengan orang yang tidak percaya, secara jujur, apa yang menjadi prioritas Anda? Hubungan yang romantis atau memenangkan jiwa mereka bagi Kristus? Jikalau Anda menikahi orang yang tidak percaya, bagaimana kalian berdua dapat membangun kedekatan rohani dalam pernikahan Anda? Bagaimana pernikahan yang berkualitas dapat dibangun jikalau Anda berbeda pendapat dalam hal yang paling krusial di dunia ini " Tuhan Yesus Kristus?
Rasul Paulus mengatakan bahwa istri "terikat" kepada suaminya selama dia masih hidup. "Sebab seorang isteri terikat oleh hukum kepada suaminya selama suaminya itu hidup. Akan tetapi apabila suaminya itu mati, bebaslah ia dari hukum yang mengikatnya kepada suaminya itu" (Roma 7:2). Prinsip yang dapat kita petik dari ayat ini adalah bahwa seseorang haruslah meninggal dunia sebelum ikatan pernikahan berakhir. Ini adalah pandangan Tuhan dan sering kali pandangan ini tidak sesuai dengan realita pernikahan pada zaman sekarang. Dalam masyarakat modern lebih dari 51% pernikahan berakhir dengan perceraian. Ini berarti lebih setengah dari pasangan yang mengucapkan janji, "Sampai kematian memisahkan kita" tidak bertahan sampai tahap itu.
Dengan demikian, pertanyaannya adalah, apa yang dapat dilakukan oleh pasangan yang menikah untuk mempertahankan pernikahan "sampai kematian memisahkan kita?" Hal yang pertama dan paling utama adalah ketaatan seseorang kepada Tuhan dan FirmanNya. Ini adalah prinsip yang berkuasa dalam hidup laki-laki dan perempuan sebelum menikah dan sebelum mereka terikat. Allah berkata, "Berjalankah dua orang bersama-sama, jika mereka belum berjanji?" (Amos 3:3). Untuk mereka yang sudah lahir kembali hal ini berarti tidak membangun hubungan yang dekat dengan orang-orang yang belum percaya. "Janganlah kamu merupakan pasangan yang tidak seimbang dengan orang-orang yang tak percaya. Sebab persamaan apakah terdapat antara kebenaran dan kedurhakaan? Atau bagaimanakah terang dapat bersatu dengan gelap?" (2 Korintus 6:14). Jika prinsip yang satu ini diikuti, tidak akan ada banyak sakit hati dan penderitaan dalam pernikahan.
Prinsip lain yang dapat melindungi kelanggengan pernikahan adalah bahwa suami harus menaati Tuhan dan mencintai, menghormati dan melindungi isterinya sebagaimana dirinya sendiri (Efesus 5:25-31). Sebaliknya, istri harus menaati Tuhan dan tunduk kepada suaminya, "sebagaimana kepada Tuhan" (Efesus 5:22). Pernikahan antara seorang laki-laki dan perempuan adalah gambaran rohani dari hubungan antara Kristus dan gereja. Kristus memberi diri kepada Gereja dan dia mencintai, menghomati dan melindunginya sebagai "mempelai wanita"-Nya (Wahyu 19:7-9).
Ketika Tuhan membawa Hawa kepada Adam dalam pernikahan yang pertama, dia diciptakan dari "daging dan tulang" Adam (Kejadian 2:31) dan mereka menjadi "satu daging" (Kejadian 2:23-24). Inilah konsep yang hilang dari masyarakat modern. Menjadi satu daging adalah lebih dari sekedar bersatu secara fisik. Menjadi satu daging berarti bertemunya dan bersatunya pikiran dan hati. Hubungan ini jauh melampaui daya tarik seksual atau emosi dan masuk ke dalam "kesatuan" secara rohani yang hanya dapat diperoleh kalau kedua pihak berserah kepada Allah dan satu dengan yang lainnya. Ini adalah hubungan yang bukan terdiri dari "saya" namun terdiri dari "kita." Ini adalah salah satu rahasia dari pernikahan yang langgeng. Mempertahankan pernikahan sampai kematian memisahkan kita adalah suatu hal yang harus menjadi prioritas dari kedua belah pihak. Meneguhkan hubungan vertikal kita dengan Allah akan memberi jaminan kokoh bahwa hubungan horizontal antara suami dan istri akan langgeng dan memuliakan Tuhan.
Lembaga pernikahan dicatat dalam kitab Kejadian. "Lalu berkatalah manusia itu: "Inilah dia, tulang dari tulangku dan daging dari dagingku. Ia akan dinamai perempuan, sebab ia diambil dari laki-laki." Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 2:23-24). Allah menciptakan laki-laki dan kemudian menciptakan perempuan dari "tulang dari tulangku." Sebagaimana yang dicatat, Allah mengambil salah satu "tulang rusuk" Adam (Kejadian 2:21-22). Kata Bahasa Ibrani ini secara harafiah berarti: sisi/samping dari seseorang.
Hawa diambil dari "sisi" Adam dan di sisi Adamlah tempatnya. "Manusia itu memberi nama kepada segala ternak, kepada burung-burung di udara dan kepada segala binatang hutan, tetapi baginya sendiri ia tidak menjumpai penolong yang sepadan dengan dia" (Kejadian 2:20). Kata "penolong" dan "sepadan" dalam Bahasa Ibrani adalah kata yang sama. Kata tsb adalah "ezer" dari berasal dari kata kuno yang berarti mengelilingi, melindungi atau membantu, menolong, penolong. Karena itu kata ini berarti menolong atau membantu. Hawa diciptakan untuk berada di sisi Adam sebagai "bagian dari dirinya," menjadi pembantu dan penolongnya. Setelah menikah, laki-laki dan perempuan menjadi "satu daging." Perjanjian Baru menambahkan peringatan kepada "kesatuan" ini. "Demikianlah mereka bukan lagi dua, melainkan satu. Karena itu, apa yang telah dipersatukan Allah, tidak boleh diceraikan manusia" (Matius 19:6).
Ada beberapa surat Paulus yang berbicara pernikahan dan memberi pandangan Alkitab mengenai pernikahan dan bagaimana orang-orang percaya bersikap dalam hubungan pernikahan. Salah satu bagian tsb adalah dalam 1 Korintus 7 dan Efesus 5:22-33. Ketika kedua bagian ini dipelajari bersama, kedua bagian Alkitab ini menyediakan orang percaya prinsip-prinsip yang dapat dipegang untuk membentuk kerangka pernikahan yang menyenangkan Tuhan.
Bagian yang terdapat dalam Efesus khususnya adalah dalam sekali dalam kaitannya dengan penikahan Alkitabiah yang berhasil. "Hai isteri, tunduklah kepada suamimu seperti kepada Tuhan, karena suami adalah kepala isteri sama seperti Kristus adalah kepala jemaat. Dialah yang menyelamatkan tubuh" (Efesus 5:22-23). "Hai suami, kasihilah isterimu sebagaimana Kristus telah mengasihi jemaat dan telah menyerahkan diri-Nya baginya" (Efesus 5:25). "Demikian juga suami harus mengasihi isterinya sama seperti tubuhnya sendiri: Siapa yang mengasihi isterinya mengasihi dirinya sendiri. Sebab tidak pernah orang membenci tubuhnya sendiri, tetapi mengasuhnya dan merawatinya, sama seperti Kristus terhadap jemaat" (Efesus 5:28-29). "Sebab itu laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya itu menjadi satu daging" (Efesus 5:31).
Ketika prinsip-prinsip ini dipilih oleh suami dan istri dan dipadankan dengan hubungan mereka sebagai orang-orang percaya yang sudah lahir baru, inilah pernikahan yang Alkitabiah. Ini bukan hubungan yang terbalik, tetapi adalah hubungan yang sesuai dengan konsep bahwa Kristus adalah Kepala dari suami dan isteri secara bersama-sama. Karena itu, konsep Alkitab mengenai pernikahan adalah kesatuan antara dua individu yang adalah merupakan gambaran kesatuan yang ada dalam hubungan antara Kristus dengan gerejaNya.
Kami sering mendapatkan pertanyaan-pertanyaan seperti: "Saya bercerai karena alasan ini dan itu. Dapatkah saya menikah kembali?" - atau " "Saya telah bercerai dua kali " pertama-tama karena perzinahan pasangan saya, kedua kalinya karena ketidakcocokan. Saya sekarang berpacaran dengan seseorang yang telah bercerai tiga kali " pertama-tama karena ketidakcocokan, kedua kalinya karena karena dia menyeleweng, yang ketiga karena isterinya menyeleweng. Dapatkah kami menikah?" Pertanyaan-pertanyaan semacam ini sangat sulit untuk dijawab karena Alkitab tidak memberi banyak detil mengenai apa yang membolehkan atau melarang seseorang menikah lagi setelah bercerai.
Apa yang kita ketahui secara pasti adalah Tuhan membenci perceraian (Maleakhi 2:16). Adalah rencana Allah bahwa pasangan yang sudah menikah mempertahankan pernikahan mereka selama pasangan hidup mereka masih hidup (Kejadian 2:24; Matius 19:6). Satu-satunya alasan khusus untuk penikahan kembali setelah perceraian adalah perzinahan (Matius 19:9) " dan inipun diperdebatkan di antara orang-orang Kristen. Kemungkinan lain adalah pasangan yang belum percaya meninggalkan pasangan yang sudah percaya (1 Korintus 7:12-15). Namun demikian bagian Alkitab ini tidak secara khusus menyinggung tentang pernikahan kembali, namun hanya berbicara mengenai tinggal tetap dalam ikatan pernikahan. Bagi saya nampaknya penyiksaan secara fisik, seksual atau emosi juga merupakan alasan yang kuat untuk perceraian dan mungkin pula untuk pernikahan kembali. Namun demikian, Alkitab tidak secara khusus mengajarkan hal ini.
Dalam hal ini kita tahu pasti tentang dua hal. (1) Sekali lagi Allah membenci perceraian (Maleakhi 2:16). (2) Allah adalah Pemurah dan Pengampun. Setiap perceraian adalah hasil dari dosa, baik dari salah satu pasangan maupun kedua-duanya. Apakah Allah mengampuni perceraian? Sudah pasti! Perceraian tidak lebih sulit diampuni dibanding dengan dosa-dosa lainnya. Pengampunan untuk semua dosa tersedia melalui iman di dalam Yesus Kristus (Matius 26:28; Efesus 1:7). Jikalau Tuhan mengampuni dosa perceraian, apakah ini berarti Anda bebas untuk menikah kembali? Bukan berarti begitu. Kadang-kadang Tuhan memanggil orang untuk melajang (1 Korintus 7:7-8). Melajang tidak boleh dipandang sebagai kutukan atau hukuman, namun sebagai kesempatan untuk melayani Tuhan dengan lebih sepenuh hati (1 Korintus 7:32-36). Firman Tuhan memberitahu kita bahwa lebih baik menikah daripada hangus oleh hawa nafsu (1 Korintus 7:9). Mungkin kadang-kadang ini dapat diterapkan pada pernikahan kembali setelah bercerai.
Jadi, dapatkah atau patutkah Anda menikah kembali? Saya tidak dapat menjawab pertanyaan itu. Pada akhirnya hal itu adalah antara Anda dengan calon pasangan Anda, dan yang paling penting adalah dengan Tuhan. Satu-satunya nasehat yang dapat saya berikan adalah Anda perlu berdoa untuk hikmat untuk memahami apa yang menjadi kehendak Allah bagi Anda (Yakobus 1:5). Berdoalah dengan pikiran yang terbuka dan dengan sungguh-sungguh minta Tuhan menaruh kehendakNya dalam hati Anda (Mazmur 37:4) dan ikuti pimpinanNya. Ini adalah nasihat terbaik yang dapat saya berikan.
Ini merupakan pertanyaan yang sulit untuk dijawab karena Alkitab tidak secara jelas menyatakan kapan Allah menganggap pasangan itu sebagai sudah menikah. Ada tiga pandangan yang umum: 1) Allah memandang pasangan menikah hanya kalau mereka menikah secara resmi. 2) Pasangan menikah di mata Allah pada waktu mereka telah menyelesaikan semacam upacara pernikahan secara resmi. 3) Allah memandang pasangan sebagai menikah pada saat pernikahan dinyatakan dengan hubungan seks. Marilah kita melihat masing-masing dari ketiga pandangan ini dan melihat apa kelebihan dan kekurangan dari masing-masing pandangan ini.
1) Allah memandang pasangan sebagai sudah menikah hanya kalau mereka menikah secara resmi. Ayat-ayat Alkitab pendukung yang diberikan secara khusus untuk pandangan ini adalah ayat-ayat yang mendukung kepatuhan kepada pemerintah (Roma 13:1-7; 1 Petrus 2:17). Argumennya adalah bahwa pemerintah menuntut surat-surat untuk diselesaikan sebelum sebuah pernikahan diakui, pasangan seharusnya menyerahkan diri mereka kepada apa saja yang pemerintah minta. Jelas adalah alkitabiah bagi pasangan untuk tunduk kepada pemerintah selama persyaratan-persyaratan itu tidak bertentangan dengan Firman Allah dan masuk akal. Roma 13:1-2 memberitahu kita, "Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya, sebab tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah; dan pemerintah-pemerintah yang ada, ditetapkan oleh Allah. Sebab itu barangsiapa melawan pemerintah, ia melawan ketetapan Allah dan siapa yang melakukannya, akan mendatangkan hukuman atas dirinya."
Ada beberapa kelemahan dan potensi masalah untuk pandangan ini. Pertama, ada pernikahan sebelum pemerintahan dibentuk. Selama beribu-ribu tahun, manusia menikah tanpa surat pernikahan. Kedua, bahkan hari ini, ada beberapa negara yang tidak memiliki pengakuan pernikahan dari pemerintah, dan/ atau tidak ada persyaratan resmi untuk pernikahan. Ketiga, ada beberapa pemerintah yang menempatkan persyaratan yang tidak alkitabiah pada sebuah pernikahan sebelum itu diakui secara resmi. Sebagai contoh, ada negara yang menuntut pernikahan diselenggarakan di gereja Katolik, menurut ajaran Katolik, dan diatur oleh pastur. Jelaslah, bagi orang-orang yang mempunyai perbedaan pendapat dengan Gereja Katolik dan pengertian Katolik tentang pernikahan sebagai suatu sakramen, adalah tidak alkitabiah untuk menikah di Gereja Katolik.
2) Pasangan dianggap menikah di mata Allah ketika mereka melakukan semacam upacara pernikahan secara resmi. Sama halnya"dalam berbagai kebudayaan"sang ayah memberikan putrinya dalam pernikahan, beberapa penafsir memahami Allah membawa Hawa kepada Adam (Kejadian 2:22) sebagai Allah mengatur "upacara" pernikahan yang pertama. Dalam Yohanes pasal 2, Yesus menghadiri upacara pernikahan. Kehadiran Yesus dalam upacara pernikahan sama sekali tidak berarti menunjukkan bahwa Allah mewajibkan upacara pernikahan, melainkan lebih menunjukkan bahwa upacara pernikahan bisa diterima di mata Allah. Hampir setiap kebudayaan dalam sejarah manusia mempunyai semacam upacara pernikahan. Dalam setiap kebudayaan ada peristiwa, tindakan, perjanjian, atau pengumuman secara resmi yang diakui sebagai pernyataan seorang laki-laki dan seorang perempuan dinikahkan.
3) Allah memandang pasangan sebagai sudah menikah pada saat pernikahan berpuncak pada hubungan seks. Ada beberapa yang beralasan bahwa jika seorang laki-laki dan seorang perempuan berhubungan seks, Allah menganggap mereka berdua sebagai sudah menikah. Pandangan sedemikian nampaknya tidak alkitabiah. Dasar dari argumen ini adalah fakta bahwa hubungan seks antara suami istri adalah pemenuhan dasar dari prinsip "satu daging" (Kejadian 2:24; Matius 19:5; Efesus 5:31). Dalam pengertian ini, hubungan seks adalah meterai terakhir pada sebuah perjanjian pernikahan. Namun demikian, jika pasangan menikah secara resmi dan upacara, tetapi karena alasan tertentu tidak dapat melakukan hubungan seks, pasangan itu tetap dianggap sudah menikah.
Adalah tidak alkitabiah untuk menganggap pasangan yang telah berhubungan seks"tetapi belum menuruti satu pun dari aspek-aspek perjanjian pernikahan yang lainnya"sebagai sudah menikah. Ayat Alkitab seperti 1 Korintus 7:2 menunjukkan bahwa seks sebelum pernikahan adalah percabulan. Jika hubungan seks menyebabkan pasangan menjadi menikah, itu tidak dapat dianggap percabulan, di mana pasangan dianggap menikah pada saat mereka melakukan hubungan seks. Sama sekali tidak ada dasar secara alkitabiah untuk pasangan yang belum menikah melakukan hubungan seks dan kemudian menyatakan bahwa mereka sudah menikah, dan menyatakan semua hubungan seks di waktu yang akan datang sebagai sesuatu yang bermoral dan menghormati Allah.
Jadi, apa itu pernikahan di mata Allah? Tampaknya prinsip-prinsip berikut ini harus diikuti:
1) Sepanjang persyaratan-persyaratannya adalah masuk akal dan tidak bertentangan dengan Alkitab, pasangan harus memenuhi pengakuan resmi pemerintah. 2) Pasangan harus mengikuti segala kebiasaan-kebiasaan budaya dan keluarga yang biasanya dilakukan secara khusus untuk mengakui pasangan sebagai "menikah secara sah." 3) Jikalau memungkinkan, pasangan harus menyempurnakan pernikahan secara seksual, memenuhi aspek fisik dari prinsip "satu daging".
Bagaimana jika satu atau lebih dari prinsip-prinsip ini yang tidak dipenuhi? Apakah pasangan ini masih dianggap menikah di mata Allah? Pada akhirnya, itu adalah antara pasangan dan Allah. Allah mengetahui hati kita (1 Yohanes 3:20). Allah mengetahui perbedaan antara perjanjian pernikahan yang sungguh-sungguh dan usaha untuk membenarkan percabulan.
Alkitab memberitahu kita, "Karena pada waktu kebangkitan orang tidak kawin dan tidak dikawinkan melainkan hidup seperti malaikat di sorga" (Matius 22:30). Ini adalah jawaban Yesus dalam tanggapan-Nya kepada sebuah pertanyaan mengenai seorang perempuan yang menikah berkali-kali dalam hidupnya"kepada siapa dia akan dinyatakan menikah di sorga (Matius 22:23-28)? Jelas, tidak akan ada sesuatu seperti pernikahan di sorga. Ini tidak berarti bahwa seorang suami dan istri tidak akan mengenal satu sama lain lagi di sorga. Ini juga tidak berarti bahwa seorang suami dan istri sudah tidak bisa mempunyai hubungan yang dekat lagi di sorga. Apa yang kelihatannya masih dinyatakan adalah bahwa seorang suami dan istri tidak akan tetap dalam status menikah di sorga.
Hampir dapat dipastikan, tidak akan ada pernikahan di sorga karena hal itu tidak diperlukan lagi. Ketika Allah mendirikan pernikahan, Dia melakukan itu untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tertentu. Pertama-tama, Dia melihat bahwa Adam membutuhkan seorang pendamping. "TUHAN Allah berfirman: "Tidak baik, kalau manusia itu seorang diri saja. Aku akan menjadikan penolong baginya, yang sepadan dengan dia"" (Kejadian 2:18). Hawa adalah jalan keluar untuk masalah kesendirian Adam, demikian pula kebutuhannya untuk seorang "penolong," seseorang yang ada bersama-sama dia sebagai pendamping dan menjalani kehidupan di sisinya. Di sorga, bagaimana pun juga, tidak akan ada kesepian, juga tidak akan ada kebutuhan untuk penolong. Kita akan dikelilingi oleh banyak orang percaya dan malaikat (Wahyu 7:9), dan semua kebutuhan kita akan dipenuhi, termasuk kebutuhan untuk didampingi.
Kedua, Allah menciptakan pernikahan sebagai alat untuk meneruskan keturunan dan memenuhi dunia dengan umat manusia. Namun sorga tidak akan dipadatkan dengan melahirkan. Yang akan pergi ke sorga akan tiba di sana karena iman di dalam Tuhan Yesus Kristus; mereka tidak akan diciptakan di sana dengan alat-alat reproduksi. Karena itu, tidak ada tujuan untuk pernikahan di sorga karena tidak ada melahirkan atau kesepian.
Menikah dengan orang yang tidak percaya bisa menjadi salah satu tantangan yang paling sulit dalam kehidupan orang Kristen. Pernikahan adalah perjanjian yang kudus yang menyatukan dua orang bersama-sama dalam satu daging (Matius 19:5). Akan sangat sulit bagi seorang percaya dan seorang yang tidak percaya untuk hidup dalam keserasian yang damai (2 Korintus 6:14-15). Jika salah satu pasangan menjadi Kristen setelah pernikahan, pergumulan yang terkandung di dalam hidup yang dengan dua otoritas yang berbeda akan segera kelihatan secara nyata.
Sering kali orang Kristen dalam situasi ini akan mencari jalan untuk meninggalkan pernikahan ini, yakin bahwa ini adalah jalan satu-satunya untuk benar-benar membawa kemuliaan bagi Allah. Akan tetapi, Firman-Nya mengatakan sebaliknya. Adalah sangat penting untuk tidak hanya merasa puas dengan situasi kita, tetapi juga mencari jalan untuk memuliakan Dia dalam keadaan kita yang penuh tantangan (1 Korintus 7:17). Alkitab secara khusus berbicara kepada orang-orang yang menikah dengan orang-orang yang tidak percaya dalam 1 Korintus 7:12-14: "" Kalau ada seorang saudara beristerikan seorang yang tidak beriman dan perempuan itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah saudara itu menceraikan dia. Dan kalau ada seorang isteri bersuamikan seorang yang tidak beriman dan laki-laki itu mau hidup bersama-sama dengan dia, janganlah ia menceraikan laki-laki itu. Karena suami yang tidak beriman itu dikuduskan oleh isterinya dan isteri yang tidak beriman itu dikuduskan oleh suaminya ""
Orang Kristen yang menikah dengan orang tidak percaya perlu berdoa untuk kuasa Roh Kudus untuk memampukan mereka menyatakan Kristus dan hidup di dalam terang kehadiran Allah (1 Yohanes 1:7). Mereka harus meminta kuasa perubahan dari Allah untuk mengubah hati mereka dan menghasilkan buah Roh Kudus (Galatia 5:22-23). Seorang istri Kristen diwajibkan untuk mempunyai hati yang tunduk, walaupun terhadap suaminya yang tidak percaya (1 Petrus 3:1), dan dia akan perlu untuk tetap dekat kepada Allah dan bersandar kepada anugerah-Nya untuk memampukan dia melakukan itu.
Orang Kristen tidak dimaksudkan untuk hidup terpisah sendirian; mereka perlu mendapatkan dukungan dari sumber luar seperti gereja dan kelompok-kelompok pemahaman Alkitab. Menikah dengan orang yang tidak percaya tidak merubah kesucian hubungan, jadi haruslah menjadi prioritas dari setiap orang Kristen untuk berdoa bagi pasangannya dan memberikan teladan yang baik, mengizinkan terang Kristus bersinar dengan terang (Filipi 2:14). Kiranya kebenaran yang ditemukan dalam 1 Petrus 3:1"bahwa pasangan yang tidak percaya "dimenangkan""menjadi harapan dan tujuan dari setiap orang Kristen yang menikah dengan orang yang tidak percaya.
"Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya, sehingga keduanya menjadi satu daging" (Kejadian 2:24). Terjemahan yang lain mengajukan "leave and cleave" (KJV) sebagai "leave and be united" (NIV), "leave and bejoined" (NASB), dan "leave and hold fast" (ESV). Jadi, persisnya apa yang dimaksud dengan meninggalkan ayahmu dan ibumu dan bersatu dengan pasanganmu?
Sebagaimana tercatat dalam Kejadian pasal 2, Allah menciptakan Adam terlebih dahulu, dan kemudian Hawa. Allah sendiri membawa Hawa kepada Adam. Allah sendiri menentukan bahwa mereka akan dipersatukan dalam satu ikatan pernikahan yang suci. Dia berkata bahwa mereka berdua akan menjadi satu daging. Ini adalah gambaran dari keintiman pernikahan"tindakan kasih yang tidak pernah melibatkan siapa pun juga. "Bersatu" artinya "menempel kepada, melekat kepada, atau bergabung dengan." Adalah suatu penyatuan yang unik dari dua orang menjadi satu kesatuan. Itu berarti kita tidak berhenti pada saat berbagai hal tidak berjalan dengan baik. Hal ini termasuk menyelesaikan masalah, berdoa untuk masalah-masalah, sabar sementara Anda percaya kepada Allah untuk bekerja dalam hati Anda berdua, rela mengaku pada waktu Anda bersalah dan meminta pengampunan, dan mencari petunjuk Allah secara teratur dalam Firman-Nya.
Jika salah satu pasangan gagal untuk meninggalkan dan bersatu, masalah akan timbul dalam pernikahan. Jika pasangan menolak untuk sungguh-sungguh meninggalkan orangtua mereka, konflik dan tekanan terjadi. Meninggalkan orangtua Anda tidak berarti tidak mempedulikan mereka atau tidak meluangkan waktu untuk mereka. Meninggalkan orangtua Anda berarti mengenali bahwa pernikahan Anda menghasilkan keluarga yang baru dan bahwa keluarga baru ini harus lebih tinggi prioritasnya daripada keluarga Anda yang sebelumnya. Jika pasangan mengabaikan untuk bersatu dengan lainnya, akibatnya adalah kekurangan keintiman dan kesatuan. Bersatu dengan pasangan Anda tidak berarti bersama-sama dengan dia setiap saat atau tidak mempunyai hubungan persahabatan yang berarti di luar pernikahan Anda. Bersatu dengan pasangan Anda maksudnya mengaku bahwa Anda dipersatukan, pada dasarnya "ditempelkan," kepada pasangan Anda. Bersatu adalah kunci dalam membangun suatu pernikahan yang akan bertahan dalam waktu yang sulit dan menjadi hubungan yang indah yang Allah rencanakan.
"Meninggalkan dan bersatu" dalam ikatan pernikahan adalah juga sebuah gambaran dari kesatuan Allah yang Allah ingin kita miliki dengan Dia. "TUHAN, Allahmu, harus kamu ikuti, kamu harus takut akan Dia, kamu harus berpegang pada perintah-Nya, suara-Nya harus kamu dengarkan, kepada-Nya harus kamu berbakti dan berpaut" (Ulangan 13:4). Itu berarti bahwa kita meninggalkan semua allah yang lain, apapun bentuknya, dan bersatu hanya dengan-Nya saja sebagai Allah kita. Kita bersatu dengan Dia pada saat kita membaca Firman-Nya dan tunduk kepada kekuasaan-Nya atas kita. Kemudian, sementara kita mengikuti Dia secara dekat, kita menemukan bahwa perintah-Nya untuk meninggalkan ayah dan ibu dengan tujuan untuk bersatu dengan pasangan kita adalah untuk menemukan komitmen dan keamanan, seperti yang Dia inginkan. Allah mengambil rancangan-Nya untuk pernikahan secara sungguh sungguh. Meninggalkan dan bersatu adalah rencana Allah untuk mereka yang menikah. Pada saat kita mengikuti rencana Allah, kita tidak pernah dikecewakan.
Istilah "satu daging" berasal dari kisah Kejadian mengenai penciptaan Hawa. Kejadian 2:21-24 menggambarkan proses di mana Allah menciptakan Hawa dari tulang rusuk yang diambil dari sisi Adam ketika dia tidur. Adam mengakui bahwa Hawa adalah bagian dari dirinya"mereka secara kenyataan adalah "satu daging". Istilah "satu daging" berarti bahwa sebagaimana tubuh kita adalah satu kesatuan yang utuh dan tidak dapat dipotong-potong dan tetap utuh, demikianlah rencana Allah bagi hubungan pernikahan. Bukan lagi dua makhluk (dua individu), tetapi sekarang adalah satu kesatuan (pasangan yang menikah). Ada sejumlah aspek dari kesatuan yang baru ini.
Dalam hubungan dengan ikatan emosi, unit yang baru itu lebih penting dari semua hubungan yang sebelumnya dan yang akan datang. Beberapa pasangan yang sudah menikah terus menempatkan ikatan dengan orang tua lebih daripada dengan pasangan yang baru. Ini adalah resep untuk bencana dalam pernikahan dan bertolak belakang dengan rencana Allah yang semula tentang "meninggalkan dan bersatu." Masalah yang sama bisa berkembang ketika pasangan mulai menarik diri lebih dekat kepada anak untuk memenuhi kebutuhan emosinya daripada kepada pasangannya.
Secara emosi, rohani, intelek, keuangan, dan dalam setiap cara yang apapun, pasangan menjadi satu. Bahkan sebagaimana satu bagian tubuh mempedulikan bagian-bagian tubuh yang lain (lambung mencerna makanan untuk tubuh, otak memberi tubuh petunjuk untuk kebaikan dari seluruh tubuh, tangan bekerja demi tubuh, dll), demikianlah masing-masing pasangan dalam pernikahan mempedulikan yang lainnya. Setiap pasangan tidak lagi melihat uang sebagai uang "saya"; tetapi lebih sebagai uang "kami". Efesus 5:22-33 dan Amsal 31:10-31 masing-masing menerapkan "kesatuan" ini kepada peranan suami dan kepada istri.
Secara fisik, mereka menjadi satu daging, dan hasil dari satu daging itu diwujudkan dalam anak-anak yang dihasilkan oleh kesatuan ini; anak-anak ini sekarang memiliki suatu bangunan genetik yang khusus, yang unik untuk kesatuan mereka. Bahkan dalam aspek seksual dari hubungan mereka, suami dan istri tidak menganggap tubuh mereka sebagai milik mereka sendiri tetapi kepunyaan pasangan mereka (1 Korintus 7:3-5). Juga mereka tidak berpusat pada kesenangan mereka sendiri tetapi lebih memberi kesenangan kepada pasangan mereka.
Kesatuan ini dan keinginan untuk menguntungkan satu sama lain tidaklah otomatis, khususnya setelah kejatuhan manusia ke dalam dosa. Manusia, dalam Kejadian 2:24, diberitahukan untuk "bersatu" dengan istrinya. Kata ini mengandung dua pemikiran. Kesatu adalah "ditempelkan" kepada istrinya, suatu gambaran dari betapa eratnya ikatan pernikahan itu. Aspek yang lain adalah "mengejar" istri. "Mengejar" ini adalah melampaui masa pacaran dan masuk kepada pernikahan, dan terus berlanjut sepanjang pernikahan. Kecenderungan daging adalah "melakukan apa yang terasa baik bagiku" bukannya memikirkan apa yang akan menguntungkan pasangan. Dan sikap berpusat kepada diri sendiri ini adalah tempat di mana pernikahan umumnya jatuh begitu "bulan madu berakhir." Daripada setiap pasangan memusatkan perhatian kepada bagaimana kebutuhannya tidak dipenuhi, seharusnya dia tetap memusatkan perhatian pada pemenuhan kebutuhan pasangannya.
Seindah apapun bagi dua orang yang hidup bersama memenuhi kebutuhan satu sama lain, Allah memiliki panggilan yang lebih tinggi untuk pernikahan. Sama seperti mereka melayani Kristus dengan kehidupan mereka sebelum pernikahan (Roma 12:1-2), sekarang mereka melayani Kristus bersama sebagai satu unit dan membesarkan anak-anak mereka untuk melayani Allah (1 Korintus 7:29-34; Maleakhi 2:15; Efesus 6:4). Priskila dan Akwila, dalam Kisah 18, akan menjadi contoh yang baik untuk hal ini. Sebagai pasangan yang melayani Kristus bersama, sukacita yang Roh Kudus berikan akan memenuhi pernikahan mereka (Galatia 5:22-23). Di Taman Eden, ada tiga kehadiran (Adam, Hawa, dan Allah), dan ada sukacita. Jadi, jika Allah adalah pusat dari suatu pernikahan hari ini, akan ada sukacita. Tanpa Allah, kesatuan yang sejati dan sempurna adalah mustahil adanya.
Pertanyaan poligami adalah pertanyaan yang menarik di mana kebanyakan orang memandang poligami sebagai tidak bermoral sementara Alkitab tidak secara jelas mengutuk hal itu. Contoh pertama dari poligami / bigami dalam Alkitab adalah Lamekh dalam Kejadian 4:19: "Lamekh mengambil istri dua orang." Beberapa orang terkenal dalam Perjanjian Lama adalah poligami. Abraham, Yakub, Daud, Salomo, dan yang lainnya semua mempunyai banyak istri. Dalam 2 Samuel 12:8, Allah, berbicara melalui nabi Natan, berfirman bahwa seandainya istri-istri dan gundik-gundik Daud belum cukup, Dia akan menambah lagi kepada Daud. Salomo mempunyai 700 istri dan 300 gundik (pada dasarnya istri dengan status yang lebih rendah), menurut 1 Raja-raja 11:3. Bagaimana kita menjelaskan contoh-contoh poligami dalam Perjanjian Lama ini? Ada tiga pertanyaan yang perlu dijawab: 1) Mengapa Allah mengizinkan poligami dalam Perjanjian Lama? 2) Bagaimana Allah memandang poligami sekarang ini? 3) Mengapa berubah?
1) Mengapa Allah mengizinkan poligami dalam Perjanjian Lama? Alkitab tidak secara spesifik mengatakan mengapa Allah mengizinkan poligami. Ketika kita berspekulasi tentang kebungkaman Allah, ada beberapa faktor kunci untuk dipertimbangkan, Pertama, selalu lebih banyak perempuan daripada laki-laki di dalam dunia. Statistik sekarang menunjukkan bahwa kira-kira 50,5 persen dari populasi dunia adalah perempuan, dengan laki-laki 49,5 persen. Dengan menganggap persentase yang sama pada zaman dahulu, dan dilipatgandakan dengan jutaan manusia, maka akan ada puluhan ribu perempuan lebih banyak daripada laki-laki. Kedua, peperangan pada zaman dahulu kala sangat kejam, dengan kematian yang luar biasa tinggi. Hal ini bahkan akan mengakibatkan perbedaan persentase yang lebih besar antara perempuan dan laki-laki. Ketiga, karena dalam masyarakat patriarki hampir tidak mungkin bagi perempuan yang tidak menikah untuk mencukupi kebutuhan dirinya sendiri. Para perempuan sering kali tidak berpendidikan dan tidak terlatih. Para perempuan bergantung kepada ayah, saudara laki-laki, dan suami mereka untuk penyediaan kebutuhan hidup dan perlindungan. Perempuan yang tidak menikah sering kali diperlakukan sebagai pelacur dan budak. Perbedaan yang berarti antara jumlah perempuan dan laki-laki akan meninggalkan banyak perempuan dalam situasi yang tidak diinginkan.
Jadi, tampaknya Allah mengizinkan poligami untuk melindungi dan mencukupi para perempuan yang, jika tidak, tidak dapat menemukan suami. Seorang laki-laki akan mengambil beberapa istri dan berfungsi sebagai pemberi nafkah dan pelindung bagi mereka. Walaupun tentu tidaklah ideal, hidup dalam rumah tangga poligami, adalah jauh lebih baik daripada pilihan lainnya: pelacuran, perbudakan, atau kelaparan. Sebagai tambahan kepada faktor perlindungan/pemberian nafkah, poligami memungkinkan berkembangnya umat manusia dengan lebih cepat, untuk menggenapi perintah Allah untuk "beranakcuculah dan bertambah banyak; sehingga tak terbilang jumlahmu di bumi" (Kejadian 9:7). Laki-laki mampu menghamili beberapa perempuan dalam kurun waktu yang sama, menyebabkan umat manusia bertambah lebih cepat daripada jika masing-masing laki-laki hanya menghasilkan seorang anak setiap tahun.
2) Bagaimana Allah memandang poligami sekarang ini? Bahkan saat poligami diizinkan, Alkitab mengajukan monogami sebagai rencana yang paling sesuai dengan pernikahan yang ideal bagi Allah. Alkitab mengatakan bahwa maksud Allah yang semula adalah untuk satu orang laki-laki menikah dengan satu orang perempuan saja: "Sebab itu seorang laki-laki akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya (bukan isteri-isteri), sehingga keduanya menjadi satu daging (bukan daging-daging)" (Kejadian 2:24). Walaupun Kejadian 2:24 lebih menggambarkan apa itu pernikahan, daripada berapa orang yang terlibat, penggunaan kata tunggal yang konsisten seharusnya diperhatikan. Dalam Ulangan 17:14-20, Allah berkata bahwa raja-raja tidak seharusnya memperbanyak istri (atau kuda atau emas). Walaupun ini tidak bisa ditafsirkan sebagai perintah bahwa raja-raja harus monogami, bisa dimengerti sebagai pernyataan bahwa memiliki banyak istri menyebabkan masalah. Hal ini bisa dilihat dengan jelas dalam kehidupan Salomo (1 Raja-raja 11:3-4).
Dalam Perjanjian Baru, 1 Timotius 3:2, 12 dan Titus 1:6 memberikan "suami dari satu istri" dalam satu daftar kualifikasi untuk kepemimpinan rohani. Ada beberapa perdebatan sehubungan dengan apa maksud kualifikasi ini secara spesifik. Susunan kata itu bisa diterjemahkan secara harafiah "laki-laki satu perempuan." Apakah frasa ini secara khusus merujuk kepada poligami atau tidak, tidak masuk akal seorang penganut poligami bisa dianggap sebagai "laki-laki satu perempuan." Walaupun kualifikasi-kualifikasi ini adalah secara spesifik untuk posisi kepemimpinan rohani, kualifikasi-kualifikasi ini seharusnya sama diterapkan untuk semua orang Kristen. Bukankah seharusnya semua orang Kristen menjadi "yang tak bercacat"dapat menahan diri, bijaksana, sopan, suka memberi tumpangan, cakap mengajar orang, bukan peminum, bukan pemarah melainkan peramah, pendamai, bukan hamba uang" (1 Timotius 3:2-4)? Jika kita dipanggil untuk menjadi kudus (1 Petrus 1:16), dan jika standar-standar ini adalah kudus untuk para penatua dan diaken, maka standar-standar ini kudus untuk semua.
Efesus 5:22-33 berbicara tentang hubungan antara suami dan isteri. Ketika menunjuk kepada seorang suami (bentuk tunggal), selalu juga menunjuk kepada seorang isteri [bentuk tunggal]. "Karena suami adalah kepala isteri [bentuk tunggal] " Siapa yang mengasihi isterinya [bentuk tunggal], mengasihi dirinya sendiri. Sebab itu laki-laki [bentuk tunggal] akan meninggalkan ayahnya dan ibunya dan bersatu dengan isterinya [bentuk tunggal], sehingga keduanya itu menjadi satu daging".bagi kamu masing-masing berlaku: kasihilah isterimu [bentuk tunggal] seperti dirimu sendiri dan isteri [bentuk tunggal] hendaklah menghormati suaminya [bentuk tunggal]." Sementara satu bagian yang hampir paralel, Kolose 3:18-19, menunjuk kepada suami-suami dan isteri-isteri dalam bentuk jamak, jelaslah bahwa Paulus menujukan kepada semua suami dan istri di antara orang-orang percaya di Kolose, bukan menentukan bahwa seorang suami boleh mempunyai banyak isteri. Secara kontras, Efesus 5:22-33 menggambarkan secara spesifik hubungan perkawinan. Jika poligami bisa diizinkan, keseluruhan ilustrasi hubungan Kristus dengan tubuh-Nya (jemaat) dan hubungan suami-isteri menjadi berantakan.
3) Mengapa berubah? Bukannya Allah tidak mengizinkan sesuatu yang sebelumnya Dia izinkan namun ini merupakan pemulihan pernikahan sesuai dengan rencana-Nya yang mula-mula. Bahkan kembali kepada Adam dan Hawapun, poligami bukanlah rencana Allah mula-mula. Tampaknya Allah mengizinkan poligami untuk mengatasi masalah, tetapi itu bukan yang ideal. Dalam kebanyakan masyarakat modern, poligami sama sekali tidak perlu. Dalam kebanyakan budaya hari ini, perempuan mampu mencari nafkah dan melindungi diri mereka sendiri"menghapuskan satu-satunya aspek "positif" poligami. Selanjutnya, kebanyakan bangsa modern menyatakan poligami tidak sah. Menurut Roma 13:1-7, kita harus menaati hukum-hukum yang pemerintah tetapkan. Satu-satunya contoh dalam mana tidak menaati hukum diizinkan oleh Alkitab adalah jika hukum itu bertentangan dengan perintah Allah (Kisah 5:29). Karena Allah hanya mengizinkan poligami, dan tidak memerintahkannya, hukum yang melarang poligami harus ditegakkan.
Apakah ada contoh-contoh di mana izin untuk poligami masih dapat diterapkan sekarang ini? Mungkin, tetapi tidak terbayang bahwa sama sekali tidak ada solusi yang lain. Karena aspek "satu daging" dari pernikahan, perlunya kesatuan dan kecocokan dalam pernikahan, dan tidak adanya kebutuhan yang sejati untuk poligami, maka dengan teguh kita percaya bahwa poligami tidak menghormati Allah dan bukanlah rancangan-Nya untuk pernikahan.